Ketika membahas soal polarisasi politik, tidak lengkap rasanya jika tidak menyinggung election yang beberapa bulan ke depan akan terlaksana di Indonesia. Hal ini jelas membuat pertanyaan tentang apa itu polarisasi politik semakin mencuat dalam perbincangan publik.
Selain pengertiannya, Anda juga perlu tahu alasan mengapa kondisi ini bisa terjadi di Indonesia dan apa saja dampaknya. Lalu, contoh kasusnya juga sangat penting untuk dipelajari agar kasus yang sama tidak terjadi lagi pada pesta politik Indonesia di tahun 2024.
Pengertian Polarisasi Politik
Pada dasarnya, polarisasi politik adalah suatu fenomena yang umum terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Fenomena ini terjadi ketika ada beberapa kubu masyarakat yang mendukung kubu politik berbeda, misalnya seperti capres dan cawapres.
Polarisasi sendiri berasal dari kata “polar” yang berarti saling berseberangan. Jadi, pengertian dari apa itu polarisasi politik secara literal adalah pandangan yang saling berseberangan. Perbedaan ini bisa memunculkan dua (atau lebih) kubu politik berbeda.
Selain kondisi ini, ada juga polarisasi opini dan ideologi. Secara garis besar dan jika ditilik dari luar ketiganya memang terlihat sama. Hanya saja, ekstremitas ketiganya bisa sangat berbeda. Biasanya, polarisasi politik jauh lebih ekstrim dan violent.
Polarisasi Politik Rentan Menimbulkan Perpecahan dan Meningkatkan Sikap Intoleran
Setelah mengetahui apa itu polarisasi politik, mungkin Anda menyadari jika itu bukanlah hal baru di Indonesia. Terutama menjelang kampanye menjelang election, seperti apa yang akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan.
Meskipun bukan merupakan hal baru, namun bahaya dari situasi initetap ada dan nyata. Terutama ketika fenomena ini mulai terasa, seperti apa yang kini sedang terjadi di Indonesia. Perbedaan pandangan politik ini bisa sangat rentan menimbulkan perpecahan.
Jika polarisasi ini hanya sekadar polarisasi opini atau ideologi saja maka tidak ada masalah. Semua orang berhak untuk memiliki opini dan ideologi yang berbeda tentang suatu hal atau peristiwa. Dengan catatan, tidak ada tindakan ekstrim di dalamnya.
Hanya saja dalam situasi ini, tidak jarang akan terjadi aksi saling serang menyerang antar kubu berbeda. Mereka saling mencaci, memaki, dan menjatuhkan satu sama lain. Tidak jarang, isu SARA dan hal sensitif lain terseret karena adanya polarisasi.
Sehingga, selain menimbulkan perpecahan di masyarakat, polarisasi politik juga bisa menumbuhkan sikap intoleran. Karenanya, identitas tidak bisa dipisahkan dari apa itu polarisasi politik. Sebab, tidak sedikit yang diserang suku, ras, dan juga agamanya.
Dampak polarisasi politik yang lebih ekstrim adalah penyerangan secara fisik, jadi tidak sebatas hanya psikis. Tidak jarang terjadi perkelahian, pemukulan, saling lempar batu, penyerangan, dan berbagai aksi lain yang bisa menimbulkan perpecahan.
Learn from The Best: Kasus Polarisasi Politik di Pemilu 2019
Ketika membicarakan tentang apa itu polarisasi politik di Indonesia, 2019 election layak dibicarakan. Pada saat itu, kondisi di Indonesia sangat ekstrim karena munculnya para extremist. Ada dua kubu yang populer hingga saat ini, yaitu kubu cebong dan kubu kampret.
Kedua istilah tersebut memiliki negative connotation sehingga memunculkan perpecahan di kalangan masyarakat. Cebong adalah insult untuk Jokowi supporter dan kampret adalah insult untuk Prabowo supporter, dua calon presiden di Pemilu 2019.
Contoh kondisi ini adalah cebong kampret ini jelas melukai pesta demokrasi yang seharusnya berakhir dengan baik. Bahkan, setelah Jokowi terpilih pun, polarisasi politik di tengah masyarakat masih terjadi. Kasusnya ini pastinya tidak terulang di Pemilu 2024.
Wakil Presiden Indonesia Ma’ruf Amin berpesan jika Pemilu atau election bukan merupakan alasan untuk memecah belah bangsa. Perbedaan pandangan soal politik itu wajar, namun jangan sampai itu menimbulkan perpecahan dan membuat masyarakat jadi intoleran.
Para politikus jelas akan tegang dan rentan clashing antara satu sama lain dalam perebutan kursi. Hanya saja, Ma’ruf Amin berpesan jika hal itu cukup terjadi di kalangan atas saja. Jika masyarakat ikut memanas, hal itu akan membahayakan stabilitas negara.
“Ketegangan politik kalau sampai ke bawah (masyarakat umum) itu justru berbahaya, jadi biarkan itu terjadi di kalangan atas saja (politikus),” ungkap Ma’ruf pada media.
Pernyataan tersebut Ma’ruf sampaikan beberapa bulan sebelum capres dan cawapres resmi diumumkan. Namun, sahup-sahup rumor sudah terasa. Dan benar saja, ketegangan politik mulai terasa di media sosial menjelang kampanye resmi sebelum pemilihan umum ini.
Semakin banyak pendukung salah satu capres cawapres yang menyerang para pendukung capres cawapres yang lain. Hal ini diharapkan tidak terus terjadi, dan masyarakat bisa mengungkapkan opini serta ideologi mereka tanpa menyerang pihak lain.
Belajar dari apa itu polarisasi politik di Pemilu 2024, ekstremitas tidak akan mengantarkan kita ke mana-mana. Sebab, tidak jarang oposisi berubah menjadi koalisi. Seperti Prabowo yang mendapat posisi sebagai menteri setelah kalah Pemilu dari Jokowi. Semoga informasi Ketik Media bermanfaat.