Ketik Media, Sulawesi Selatan – Sepanjang tahun 2024, Sulsel (Sulawesi Selatan) mencatatkan 37 kasus konflik tanah. Ini menjadikannya sebagai daerah dengan jumlah sengketa tanah terbanyak di Indonesia.
Berdasarkan laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), provinsi ini mengalami insiden konflik lahan tertinggi daripada wilayah lain.
Di urutan berikutnya, Sumatera Utara mencatatkan 32 kasus, sementara Kalimantan Timur dan Jawa Barat masing-masing menghadapi 16 kasus.
Jawa Timur menyusul dengan 15 kasus, lalu Sulawesi Tengah yang mencatatkan 13 konflik, Sumatera Barat dengan 12 kasus, serta Sumatera Selatan dan DKI Jakarta yang masing-masing memiliki 11 kasus. Sementara itu, Jambi melaporkan 10 kasus konflik tanah.
Konflik Tanah di Sulsel Tertinggi di Indonesia
Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, mengungkapkan bahwa pada tahun sebelumnya, yakni 2023, provinsi seperti Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan DKI Jakarta tidak termasuk dalam daftar 10 besar wilayah dengan konflik agraria tertinggi.
“Jadi ini perlu jadi perhatian bagi Pemprov (Pemerintah Provinsi) dan Pemda (Pemerintah Daerah), provinsi ini memang bermasalah dari sisi penerbitan atau keputusan-keputusan pejabat publik baik di daerah maupun pusat yang berkaitan dengan penerbitan hak atas tanah berupa konsesi perkebunan atau izin lokasi perkebunan, termausk konsesi tambang dan konsesi kehutanan seperti hutan tanaman industri,” jelas Dewi pada Rabu (22/1) saat konferensi pers di Jakarta.
Sepanjang tahun 2024, tercatat sebanyak 295 kasus konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia. Jumlah ini mengalami peningkatan sebesar 21 persen dari tahun sebelumnya, di mana pada 2023 terdapat 241 kasus sengketa lahan.
“Nah, wilayah konflik agraria itu berdampak kepada 1,1 juta hektar tanah yang tentu tumpang tindih atau bersumber dari proses-proses pengadaan tanah yang merampas tanah masyarakat, apakah itu bentuknya wilayah adat, tanah pertanian, atau permukiman,” katanya.
Perkebunan Menjadi Sektor yang Paling Mendominasi
Sepanjang tahun 2024, konflik agraria paling banyak terjadi di sektor perkebunan, dengan 111 kasus yang mencakup area seluas 170.210,90 hektar dan berdampak pada 27.455 keluarga.
Sektor infrastruktur menempati posisi kedua dengan 79 kasus, melibatkan lahan seluas 290.785,11 hektar dan memengaruhi 20.274 keluarga. Di sektor pertambangan, terjadi 41 sengketa tanah yang mencakup area seluas 71.101,75 hektar, berdampak pada 11.153 keluarga.
Sementara itu, sektor properti dan kehutanan masing-masing mencatatkan 25 konflik. Namun, meskipun jumlah kasusnya sama, luas lahan yang terdampak di sektor kehutanan jauh lebih besar, mencapai 379.588,75 hektar dan berimbas pada 7.056 keluarga.
Sebaliknya, sengketa di sektor properti mencakup lahan seluas 92,58 hektar dan mempengaruhi 941 keluarga.
“Kemudian sisanya adalah yang berkaitan dengan bisnis-bisnis terkait pertanian agribisnis seperti food estate, kemudian juga fasilitas militer,” ucap Dewi.
Tingginya kasus konflik tanah di Sulsel ini tentu menjadi perhatian bagi pemerintah setempat. Banyak hal yang perlu mengalami perbaikan agar hal serupa tidak terjadi lagi.