Pada tahun 1918, Tana Toraja diterpa tragedi mencekam yang lukanya masih terasa hingga sekarang. Ketika itu, ada wabah yang menyerang daerah tersebut dan membuat banyak nyawa melayang. Masyarakat lokal menyebutnya sebagai Ra’ba Biang.
Ada terlalu banyak orang yang sekarat, tidak mengenal pagi, siang, atau malam hari. Bahkan, Suku Tana Toraja tidak mengadakan tradisi potong kerbau dan babi, saking terlalu banyak nyawa yang menghilang di waktu yang berdekatan dan hampir bersamaan.
Tragedi Hilangnya Nyawa Seperti Ilalang yang Berjatuhan
Secara literal, arti Ra’ba Biang adalah “ilalang yang berjatuhan” dalam bahasa lokal. Ini merupakan simbolisme karena masyarakat Tana Toraja pada saat itu terus tumbang seperti rumput yang sedang ditebang, nyawa demi nyawa menghilang karena wabah.
Pada saat itu, daerah Tana Toraja masih berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Sayangnya, ketika itu ilmu medis modern belum diperkenalkan. Sehingga, tidak banyak yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi wabah yang satu ini.
Pemuka Adat Tana Toraja Kun Masora menjelaskan jika ada banyak orang yang meninggal di saat yang bersamaan setelah mengalami demam tinggi. Bahkan, tiga orang bibi Masora pun menjadi korban dalam peristiwa kematian masif di Tana Toraja ini.
Sang ibu, yang menjadi saksi peristiwa Ra’ba Biang di tahun 1918 menceritakan bahwa setidaknya setengah dari populasi Tana Toraja meninggal dunia akibat wabah ini. Itu adalah tragedi yang mencekam sebab seakan-akan ada orang yang tengah meracuni udara.
Hal ini diamini oleh tokoh Adat Toraja yang lain, yaitu Tato Dena. Dena mengatakan bahwa wabah di Tana Toraja tahun 1918 adalah penyakit menular antar manusia yang sangat masif. Menurut pengakuan sang Ayah, udara terasa seperti racun.
Hampir semua orang di Tana Toraja kehilangan sanak saudaranya. Bahkan, orang yang menguburkan jenazah pun sering menjadi korban karena mereka bersentuhan dengan jenazah. Karenanya, proses penguburan tak bisa berjalan sesuai tradisi Tana Toraja.
Flu Spanyol Adalah Penyebab Kematian Masif di Tana Toraja
Ternyata, tragedi mencekam yang terjadi pada tahun 1918 tersebut merupakan Flu Spanyol. Pada saat itu, wabah tersebut tidak hanya menyerang Tana Toraja saja, namun juga seluruh dunia. Setidaknya, ada 1,3 miliar orang di dunia yang mengalami dampaknya.
Sedangkan wabah Flu Spanyol di Tana Toraja merenggut lebih dari 3.000 nyawa, menurut catatan medis Hindia Belanda. Itu adalah tragedi masif yang meninggalkan luka bagi keluarga yang ditinggalkan. Hal itu pastinya tidak boleh terulang di masa depan.
Meskipun tragedi tersebut sudah lewat lebih dari 100 tahun yang lalu, namun sisa-sisa tragedinya masih bisa terlihat di zaman sekarang. Hal ini karena jenazah orang yang meninggal pada saat itu hanya disimpan dan dibiarkan berserakan di satu tempat.
Padahal, menurut tradisi pemakaman bagi Suku Tana Toraja, biasanya orang yang meninggal akan mendapatkan space milik mereka sendiri di tebing atau di punggung gunung. Namun, pada saat itu ada terlalu banyak orang yang meninggal dan tidak sempat dikuburkan.
Tidak hanya jenazah yang tidak sempat dikubur, masyarakat pun tidak melakukan upacara khusus untuk mengantarkan para roh menuju tempat damai. Sebab, pada saat itu masyarakat sedang merasa sengsara karena wabah flu yang mengancam nyawa mereka.
Siapapun dapat berkunjung ke tempat kuburan Ra’ba Biang. Hanya saja, pastikan untuk tidak menyentuh dan membawa pulang tengkorak yang tergeletak di sana. Semoga informasi Ketik Media bermanfaat.