Penyebab utama tewasnya 15 orang dalam bencana banjir dan longsor di Sulsel adalah diduga karena aktivitas pertambangan. Adapun sejumlah korban yang tewas tersebut berasal dari 3 Kabupaten yang ada di provinsi Sulawesi Selatan. Dengan jumlah korban 13 orang yang berasal dari Luwu, 1 orang di Sidrap, dan 1 korban lagi berasal dari Wajo. Banjir-longsor di Sulsel yang menimbulkan korban jiwa terjadi pada Jumat (3/5).
Dengan dampak kerugian yang diakibatkan oleh bencana alam ini, pemerintah dituntut untuk melakukan pemulihan lingkungan. Adapun cakupan pemulihan ini adalah dengan melakukan rehabilitasi kawasan hutan. Selain itu, normalisasi sungai juga diperlukan guna meminimalisir dampak bencana.
Suryadarma selaku Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang (BBWS-PJ), menjelaskan banjir dan longsor di Luwu karena adanya sedimentasi aliran sungai. Daerah alirah sungai atau DAS di Latimojong terjadi pendangkalan sehingga membuat kapasitas daya tampung sungai mengecil.
“Kondisi DAS sekarang memang banyak sedimentasi itu memperkecil daya tampung sungai. Kalau hujan normal mungkin tidak masalah, nah kalau ekstrem inilah yang terjadi banjir bandang,” ungkap Suryadarma kepada awak media, Kamis (9/5/2024).
Aktivitas Tambang Diduga sebagai Pemicu Banjir-Longsor di Sulsel
Usut punya usut, Suryadarma menduga sedimentasi di wilayah DAS karena adanya aktivitas tambang legal maupun ilegal. Beliau mengungkapkan pendangkalan ini juga terjadi akibat pembukaan lahan perkebunan.
“Karena banyaknya penambangan legal apalagi ilegal. Kemarin saya lihat di Latimojong itu juga banyak bukit-bukit yang dipapas dijadikan tanaman jagung, itu akan mempengaruhi pemasukan air ke sungai,” ucapnya.
Walaupun demikian, Suryadarma tidak menyalahkan ulah manusia sepenuhnya untuk pemicu banjir-longsor di Sulsel. Beliau juga menjelaskan bahwa faktor alam juga merupakan pemicu utama dan sulit untuk diprediksi.
“Kalau faktor alam misalnya curah hujan kan kita tidak bisa prediksi, apalagi kalau kondisi La Nina itu terjadi akumulasi hujan, nah itu sudah di luar kendali kita,” ujar Suryadarma.
Lebih lanjut, kepala BBWS-PJ ini mempertegas untuk segera melakukan upaya pemulihan lingkungan. Lembaganya mendorong agar adanya upaya konservasi di wilayah hulu Latimojong.
“Upaya konservasi itu jadi pokok, seperti rehabilitasi DAS dan pepohonan. Kemudian pengendalian penambangan-penambangan legal apalagi ilegal, tapi itukan ada pihak yang terkait, jadi harus sinergi,” tegasnya.
Pembukaan Lahan Juga Diduga Sebagai Pemicu Banjir-Longsor di Sulsel
Selaras dengan hasil kajian dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi, BBWS-PJ juga menduga bencana banjir-longsor di Sulsel terjadi karena pembukaan lahan.
Direktur Eksekutif Walhi Sulsel Muhammad Al Amien menjelaskan, banjir di Luwu terjadi karena penurunan tutupan hutan di kawasan Gunung Latimojong.
“Dari kajian yang kami lakukan memang dari 3 tahun terakhir daya dukung dan daya tampung Latimojong mulai menurun signifikan, seraya dengan penurunan tutupan lahan di pegunungan tersebut,” kata Al Amien saat dikonfirmasi, Minggu (5/5).
Al Amien melanjutkan, kondisi itu mengakibatkan daya serap air berkurang ketika hujan deras melanda. Parahnya, kondisi yang terjadi di kawasan Gunung Latimojong tersebut turut berdampak ke kabupaten lain.
Al Amien juga menerangkan, kondisi yang terjadi di Gunung Latimojong juga ikut memberikan dampak ke kabupaten lain. Di mana kondisi yang dapat menyebabkan daya serap air berkurang saat hujan deras turun.
“Makanya setiap wilayah itu dilanda intensitas hujan tinggi terjadi banjir dan longsor, kemudian daerah Wajo dan Sidrap juga terkena dampaknya,” ungkapnya.
Beliau memaparkan, penurunan tutupan hutan ini karena pembukaan lahan yang masif. Adapun persentasenya adalah 70% untuk pembukaan lahan yang berorientasi di tambang emas. Sementara 30% lainnya untuk pembukaan lahan perkebunan yang ada di Sulsel.
“Tiga tahun terakhir kami catat kegiatan pertambangan baik legal maupun non-legal yang dilakukan di Kabupaten Luwu secara massif, dan pertambangan itu adalah pertambangan emas yah, (sedangkan) 30% itu pembukaan lahan perkebunan masyarakat,” ungkapnya.