Karyawan sebuah perusahaan tambang emas Sulut yaitu PT. J Resources Bolaang Mongondow (JRBM) mengalami tindak pengusiran oleh sekelompok warga yang mengatasnamakan dirinya sebagai keluarga Kunu Makalalag.
Keluarga ini sendiri mengaku sebagai pemilik lahan yang menjadi lokasi tambang emas di Desa Dumagin, Kec. Pinolosian Timur, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Pengusiran terjadi pada hari Jumat (4/10/2024) ketika para karyawan sedang melakukan pengeboran.
Kronologi Pengusiran di Tambang Emas Sulut
Pihak keluarga Kunu Makalalag mengaku kalau pihak perusahaan sudah menyerobot lahan yang sebenarnya merupakan milik mereka. Menurutnya, lokasi tersebut sudah dikelola oleh keluarga sejak tahun 2007 lalu.
“Aksi ini sengaja kami lakukan sebagai bentuk protes terhadap perusahan tambang emas Sulut yaitu PT. JRBM yang telah menyerobot lahan perkebunan kami padahal perkebunan ini sudah mulai kami kelola sejak tahun 2007” ujar salah satu pemilik lahan.
Pemilik lahan juga menjelaskan kalau klaim tersebut sudah berdasarkan Surat Keputusan Menteri LHK. Ia menambahkan “klaim ini berdasarkan surat resmi pemerintah Desa setempat serta berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) terkait Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH) yang diterbitkan pada tahun 2023,”.
Tambang Emas Sulut Tidak Melakukan Ganti Rugi
Warga sebenarnya tidak sepenuhnya menolak keberadaan PT. JRBM untuk menjalankan bisnisnya di wilayah mereka. Hanya saja, warga mengklaim kalau pihak tambang sama sekali tidak melakukan ganti rugi kepada warga sebagai pemilik lahan.
Warga juga mengecam perilaku dari pemerintah daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan yang sebenarnya memiliki kewajiban untuk membantu warga. Namun pada kenyataannya, Pemkab justru bergerak melawan warga dengan mendukung tambang emas Sulut tersebut.
Ini terbukti dengan turunnya Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan aparat kepolisian Polres Bolaang Mongondow Selatan dalam membantu operasi dari pihak perusahaan.
Langkah Penting Agar Hal Serupa Bisa Dihindari
Ada beberapa langkah penting terkait yang sangat vital agar sengketa seperti yang terjadi pada tambang emas Sulut tidak terjadi lagi. Berikut beberapa langkah penting tersebut:
1. Transparansi dalam Proses Perizinan dan Pengelolaan Lahan
Perusahaan tambang harus terbuka mengenai perizinan yang mereka peroleh dan memastikan bahwa masyarakat setempat memahami prosedur tersebut. Ini termasuk transparansi mengenai dokumen lingkungan, dampak yang mungkin terjadi, dan upaya mitigasinya.
2. Keterlibatan Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan
Masyarakat setempat atau pemilik lahan harus terlibat sejak tahap perencanaan oleh tambang emas Sulut. Proses partisipatif dapat mengurangi ketidakpuasan karena masyarakat akan merasa ikut serta dalam keputusan yang menyangkut lahan dan lingkungan mereka.
3. Kompensasi yang Adil dan Jelas
Kesepakatan kompensasi terhadap penggunaan lahan harus jelas dan adil bagi kedua belah pihak. Perusahaan perlu menjamin bahwa nilai kompensasi sebanding dengan dampak yang timbul, baik dari segi ekonomi maupun sosial.
4. Perjanjian Tertulis yang Kuat dan Lengkap
Semua kesepakatan antara pemilik lahan dan tambang emas Sulut harus tertuang dalam perjanjian tertulis yang sah secara hukum. Perjanjian ini harus mencakup semua aspek penggunaan lahan, jangka waktu, ganti rugi, dan hak serta kewajiban masing-masing pihak.
5. Komunikasi yang Terus Berjalan
Perusahaan dan pemilik lahan perlu menjaga komunikasi yang baik dan terbuka. Dengan adanya dialog yang rutin, potensi masalah dapat selesai lebih awal sebelum berkembang menjadi konflik besar.
6. Penilaian Dampak Lingkungan yang Objektif
Penilaian dampak lingkungan (AMDAL) harus terjadi secara objektif dan komprehensif, dengan memperhitungkan potensi kerusakan terhadap lingkungan dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Hasil penilaian ini harus terkomunikasikan dengan jelas oleh tambang emas Sulut kepada masyarakat.
7. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) yang Kuat
Perusahaan tambang harus memiliki program CSR yang efektif dan benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat lokal, baik dalam bentuk fasilitas, pendidikan, kesehatan, maupun pembangunan infrastruktur.
Sengketa semacam ini sebenarnya sangat mungkin terhindari jika pihak perusahaan bisa bergerak lebih cepat dalam mengatasinya. Terjadinya hal semacam ini tentu merugikan baik bagi pihak warga maupun pemilik tambang emas Sulut itu sendiri.