Ketik Media, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, sebagai tersangka dalam kasus suap terkait buronan Harun Masiku.
Meski demikian, KPK menegaskan bahwa langkah tersebut murni penegakan hukum tanpa ada muatan politik. Dalam pandangan analis politik Arifki Chaniago, keputusan hukum terhadap Hasto berpotensi memicu dinamika internal di tubuh PDIP.
Terutama terkait adanya dua faksi yang dianggap mewakili kepentingan Puan Maharani dan Prananda Prabowo, keduanya adalah putra-putri Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
“Kalau kita lihat sejak lama memang ada kubu politik di PDIP, baik Prananda dan Puan. Tetapi banyak faktor yang kita lihat, jadi apakah ini momentum sikap PDIP ke depan? yang jelas kita hormati semua proses hukumnya,” ujar Arifki pada Rabu (25/12).
Efek Politik yang Memengaruhi Internal PDIP
Arifki menambahkan bahwa dampak politik dari penetapan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka bisa membawa perubahan besar bagi arah politik PDI Perjuangan.
Salah satu skenario yang mungkin terjadi adalah munculnya wacana terkait suksesi kepemimpinan partai pada kongres berikutnya. Hal ini menjadi menarik karena dapat memengaruhi posisi strategis PDIP di panggung politik nasional.
Misalnya, partai ini bisa mempertimbangkan untuk bergabung dengan pemerintahan Prabowo jika ia terpilih, sebagai bentuk konsolidasi kekuasaan.
Sebaliknya, PDIP juga memiliki opsi untuk mengambil peran sebagai oposisi, yang dapat memberikan ruang untuk memperkuat identitas politiknya di luar pemerintahan. Pilihan-pilihan ini akan sangat bergantung pada dinamika internal partai dan situasi politik nasional ke depan.
“Ada Puan yang secara hari ini memang dinilai mampu menjembatani beberapa kepentingan politik yang berkomunikasi dengan pemerintahan Prabowo. Tapi kalau misalnya suksesi kepimpinan itu oposisi atau hal yang berbeda, kemungkinan juga Bu Mega kembali terpilih atau Parananda yang secara sikap politik mirip dengan Bu Mega. Saya rasa ini efek politik yang akan kita lihat ke depan,” tambah Arifki.
Alasan Internal PDIP Bisa Terbagi Dua Kubu
Terkait dilema antara dua kubu di PDIP, Arifki menggambarkan situasi ini seperti dua jalan yang berlawanan arah. Jika PDIP memilih untuk mendukung pemerintahan Prabowo, partai ini bisa kehilangan peran sebagai oposisi yang kritis.
Tetapi keuntungan yang diperoleh tergantung pada seberapa besar alokasi kursi kabinet yang akan diterima. Sebaliknya, jika PDIP memutuskan untuk berada di luar pemerintahan dan menjadi oposisi, partai ini memiliki peluang untuk memperkuat posisinya di mata publik.
Sikap oposisi yang konsisten dapat menjadi modal penting bagi PDIP untuk meraih dukungan lebih besar dalam pemilu mendatang.
“Dalam kongres akan ada seberapa kuat bargaining yang diambil oleh PDIP karena ujungnya adalah seberapa banyak kursi yang didapatkan dalam konteks politik di kabinet Prabowo tapi kalau mau jadi oposisi maka PDIP akan meraih suara populis. Jadi pilihannya apakah mendapat efek populisme atau mendapat kursi di kabinet?,” tambah Arifki.
Pendapat Terkait Penetapan Hasto sebagai Tersangka
Arifki menyatakan ketidaksetujuannya terhadap anggapan bahwa penetapan Hasto sebagai tersangka dipengaruhi oleh Jokowi. Menurutnya, sebagai mantan presiden, Jokowi tidak memiliki ruang untuk melakukan intervensi dalam proses hukum tersebut.
Dari pengamatannya, Arifki justru melihat kemungkinan besar adanya dinamika politik yang bersumber dari internal partai itu sendiri. Hal ini membuka peluang bahwa dugaan adanya motif politis mungkin berasal dari konflik atau kepentingan yang berkembang di dalam tubuh PDIP.
“Apakah ini ada efek Jokowi? tapi secara hukum kita tidak bisa mengatakan seperti itu saya membaca ini dinamika lebih ke internal karena Pak Jokowi saya melihat tidak terlalu bisa karena memang Pak Jokowi bukan lagi presiden pada hari ini tapi saya membaca dualisme yang terjadi di internal PDIP,” tambah Arifki.
Sebelumnya internal PDIP sendiri sudah memberikan pernyataan resmi mengenai status tersangka Hasto. Menurut mereka, ini memiliki motif politik dan memang bertujuan untuk mengacak-ngacak internal partai.