Korban Jiwa di Palestina Terus Bertambah, Komisaris PBB: Ini Contoh Genosida

Korban Jiwa di Palestina Terus Bertambah, Komisaris PBB: Ini Contoh Genosida

Seiring dengan serangan Israel ke Jalur Gaza selama empat minggu berturut-turut, Direktur Komisaris Tinggi HAM PBB Craig Mokhiber mengundurkan diri dari jabatannya. Mokhiber menyampaikan rasa kecewanya karena PBB gagal mengentikan genosida Palestina.

“Pembantaian ini adalah kelanjutan dari diskriminasi, penindasan, dan pembersihan etnis sistematis yang telah berjalan selama beberapa dekade belakangan. Hal ini bukan perang, namun contoh kasus genosida yang nyata,” jelas Mokhiber pada Selasa, 31 Oktober 2023. 

Lebih dari 10.000 Nyawa Lenyap Akibat Serangan Israel di Gaza

Jumlah korban yang meninggal dunia dan luka-luka di Palestina terus bertambah karena Israel tidak berhenti membombardir Jalur Gaza dalam empat minggu terakhir. Belum lagi, Israel memutus konektivitas Internet, air bersih, dan makanan ke Jalur Gaza.

Pada Jumat, 3 November 2023, sudah ada lebih dari 10.000 korban jiwa di Palestina. Jumlah ini terus naik setelah pada Israel mengebom tiga unit rumah sakit, tempat pengungsian, dan melakukan pembantaian kepada para jurnalis serta seluruh keluarga mereka.

Tragedi ini merupakan kasus kemanusiaan yang parah sehingga bisa disebut sebagai genosida Palestina atau pembersihan etnis. Bahkan, banyak ahli mengatakan bahwa ini adalah tragedi Nakba 2.0, yang merupakan malapetaka sekaligus sejarah kelam untuk orang Palestina.

Jika ini merupakan perang, maka Israel tidak mungkin menyasar area penduduk, rumah sakit, tempat pengungsian, dan bahkan hingga sekolah dan ambulans. Sehingga, ada banyak korban jiwa yang merupakan warga sipil yang sama sekali tidak bersalah.

Karena itu, alasan utamanya jelas bukan untuk memerangi teroris sebagai korban seperti apa yang Israel katakan, namun genosida Palestina. Hal ini berakar dari ideologi para kolonial etno-nasionalis yang ingin merebut suatu wilayah dari para suku asli. 

Baca Juga:  Bella Hadid Bela Palestina: Takut Bukanlah Pilihan

Sebab, penindasan ini tidak hanya terjadi di Jalur Gaza saja, namun juga di wilayah Palestina yang lain seperti di West Bank. Di sini, ada banyak masyarakat sipil yang mendapatkan ancaman dan dibunuh oleh Israel, padahal tidak ada Hamas di daerah ini.

Sehingga, alasan serangan Israel ke Jalur Gaza sebagai bentuk pertahanan diri jelas merupakan sebuah kebohongan belaka. Sebab, tragedi ini tidak berawal dari 7 Oktober 2023, namun sejak Israel mengukuhkan diri sebagai negara di tahun 1948.

Tragedi Tidak Berawal dari 7 Oktober 2023

Secara garis besar, tragedi genosida Palestina berawal sejak tahun 1948 atau yang dikenal dengan peristiwa Nakba. Pada saat itu, Palestina masih dijajah oleh Inggris. Kemudian, Inggris memberikan sekitar 55% daerah di Palestina untuk Israel.

Negara Israel sendiri belum ada sebelum tahun 1948. Namun, pada saat itu sudah ada pemikiran Zionisme yang merupakan ide untuk membuat negara khusus untuk Yahudi. Dari pemikiran tersebut, lahirlah negara Israel yang menduduki Palestina saat ini.

Perasaan superior karena menganggap diri mereka sebagai bangsa pilihan Tuhan, sentimen anti-Arab, dan keinginan untuk menguasai semua tanah Palestina membuat Israel melakukan hal ini. Melalui perang demi perang, Israel terus merebut tanah Palestina.

Melalui propaganda, Israel meyakinkan masyarakat dunia untuk mempercayai jika konflik Israel-Palestina merupakan konflik agama antara Yahudi dan Islam. Hanya saja, bukan itu yang sebenarnya terjadi, karena faktanya Israel sedang melakukan genosida. 

Bukan Konflik Agama, Yahudi Ortodoks Dukung Pembebasan Palestina

Pernyataan tentang genosida Palestina ini diamini oleh para Yahudi Ortodoks yang berada di seluruh dunia. Mereka berkata jika ini bukanlah konflik agama. Sebab, dalam sejarah Palestina, penganut Yahudi, Islam, dan Kristen hidup berdampingan dengan harmonis.

Baca Juga:  Dewan Masjid Indonesia Siap Bangun Puluhan Masjid di Gaza

Hal ini terjadi sebelum bangsa Israel datang dan menghancurkan keharmonisan tersebut. Bahkan, bukan hanya umat Islam saja yang mendapatkan diskriminasi dan penindasan di Palestina, namun juga umat Kristen dan umat Yahudi yang menentang Zionisme.

Padahal, pembangunan negara khusus untuk Yahudi ini bertentangan dengan Kitab Taurat, yang merupakan kitab suci agama Yahudi. Bahkan, mereka tetap menyerang Palestina di Hari Sabat, yang merupakan hari untuk beristirahat dan beribadah.

Jadi, pendeskripsian tragedi di Palestina sebagai konflik agama adalah persepsi yang salah dan tidak tepat. Tidak semua Yahudi menganut paham Zionisme dan mendukung genosida yang kini sedang terjadi di Palestina, khususnya di Jalur Gaza.

Tragedi yang terjadi di Palestina saat ini adalah tragedi kemanusiaan, sehingga tidak perlu menjadi muslim untuk mendukung kebebasan Palestina. Hal ini juga bukan alasan untuk memiliki sentimen anti-semit terhadap Yahudi, karena pelakunya adalah para Zionis.

“Akhiri apartheid di tanah Palestina dan bentuk negara demokratis dengan memberi hak yang sama kepada umat Islam, Kristen, dan Yahudi,” jelas Mokhiber.

Tanah Palestina adalah tanah suci milik tiga agama Abrahamik. Namun, tanah tersebut tidak bisa dibilang suci jika dibangun di atas kuburan anak-anak. Karena itu, masyarakat harus bekerja sama untuk bisa menghentikan tragedi genosida Palestina. Semoga informasi Ketik Media bermanfaat.